Oleh: Irman Syah
PUTIK-PUTIK BANGSA di taman negeri tercinta akan siap mejadi nyata bila bangunan kesadaran manusianya selalu terjaga. Ditambah lagi dengan sikap yang selalu waspada terhadap apa dan dari mana saja datangnya niat serta keinginan untuk membunuh bayi-bayi kebudayaan bangsa. Lawan! Bukankah dengan demikian usaha nyata dalam membangun manusia Indonesia akan tetap membahana. Banyak hal sesungguhnya yang mesti direstorasi: kalau tidak, kita telah menelan bulat-bulat iklan dan impian semu dari luar yang senantiasa diantarkan ke bilik-bilik kecil di tiap-tiap rumah tangga di negeri ini. Semua menerobos masuk tanpa mengetuk pintu. Dan kita menerimanya dengan riang-ria. Begitulah percepatan komunikasi lewat media elektronik dan seluler yang tergenggam begitu saja.
‘Lawan’, diksi puisi yang sengaja diungkapkan Wiji Thukul bukanlah hanya kata sekedar, melainkan tindakan langsung dari masing-masing diri setiap nyawa. Dari nyawa akan memunculkan nyawa-nyawa baru lagi, lagi dan lagi. Demikian seterusnya dan kemudian beranak pinak membangun keluarga serta kehidupan baru yang menafasi hari-harinya di negeri ini. Begitulah zaman berputar, hidup menggetarkan kenyataan.
Bayi-bayi kebudayaan akan terlahir dari keluarga yang berbudaya: keluarga yang selalu sadar akan hidup yang sesungguhnya saperti apa. Takkan berarti sama sekali manusia tanpa didikan tulus dan penuh kesadaran dari orang tua yang memiliki budi pekerti dan nilai-nilai yang agung. Nilai yang penuh kandungan bumi dan langit, hidup dan mati, awal dan akhir. Alangkah menyedihkan sekali bila cinta dan kasih sayang terhadap anak ternyata salah arah.
Begitu banyak keluarga yang menjadikan anaknya semacam anak kecil yang selalu di disayang tanpa mengerti makna kasih-sayang: anak dididik dengan cara yang salah. Menganggap mereka terlalu kecil dan malah teramat kecil. Sementara komunikasi dan informasi telah mengkarbitkan mereka tanpa basa-basi. Akhirnya sang anak dengan begitu saja gampang membohongi orang tua. Kesedaran yang salah kaprah terhadap kasih sayang ini begitu berpengaruh terhadap putik-putik bangsa. Anak-anak semacam itu takkan mampu berdiri sendiri, selalu tergantung.
Pendidikan adalah dasar dan akar penumbuh kekuatan sikap hidup manusia. Bila didikan telah salah jangan pernah pula bermimpi untuk menuai kebenaran. Negeri ini memang kaya akan kandungan alam serta ph (keasaman) tanahnya yang selalu rindu menumbuhkan segala macam tanaman, tapi yang namanya bibit adalah dasar yang tak bisa ditawar-tawar. Persoalan didikan tak hanya soal sekolah: malah lebih mendasar dari itu. Keluarga adalah factor utama, penentu kedewasaan putik-putik bangsa itu sendiri.
Paulo Freire adalah salah satu tokoh yang tak bisa dilepaskan dalam hal ini. Pemikir yang amat berpengaruh di akhir abad kedua puluh ini pun mengutamakan bahwa pendidikan informallah yang lebih kuat dan mengakar. Sekolah adalah kapitalisme yang licik: begitu ungkapnya. Dari sisi lain memang tergambar paparan, kerbau tak pernah sekolah, tapi mampu menarik bajak bagi petani dan anjing tak pernah sekolah, tapi mampu menangkap penjahat bagi Polisi. Nah, apalagi yang mesti dinyatakan kalau semua telah mengarah pada kapital dan iklan-iklan murahan bagi karakter bangsa ke depan?
RoKeS, 10 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar