Kamis, 17 Mei 2012

Ketika Pendidikan Hancur

Oleh Irman Syah
Tak bisa ditawar-tawar, ‘Alam Terkembang Jadi Guru’ adalah satu-satunya kitab kehidupan yang tak bisa disepelekan begitu saja. Andai terlupakan, pasti akan ada dampak yang dimunculkannya. Lama ke lamaan bakal muncul jadi gejala baru, terus berubah fenomena: budi pekerti jadi menghilang, kenyamanan komunikasi berubah, hubungan antar saudara jadi lain. Apalagi uang pun telah lama pula disahkan jadi ukuran hidup bagi keseharian manusia. Begitulah jadinya kalau melupakan sejarah, apalagi asal usul dari ilmu kehidupan.
Jabaran persoalan di atas sesungguhnya bisa berupa analogi, iya, bisa seperti “ketika benang menjadi kain”: bagai menenun, ketika jalinan benang itu, sutra sekalipun, kalau salah, di posisi mana pun letaknya mesti harus dikembalikan lagi ke sana.  Mengurai jalinannya pun mestilah dengan sabar agar tak sehelai benang (sutra) pun jadi terputus. Salah di posisi tengah mesti kembali lagi mengulang dari tengah. Begitu pun salah di awal mesti pula dekembalikan ke awai itu lagi. Demikianlah asal sesungguhnya tempat bermula kebenaran.

Kebenaran pendidikan manusia adalah ilmu yang berguna bagi manusia lain dengan perangkat pengetahuan tentang alam yang dia lihat, dirasa, dan dinikmatinya: sesungguhnya, tanpa disadari telah berkausalitas langsung dengan tubuh kehidupan manusia itu sendiri dalam keseharian nafasnya. Ketika hal ini disadari maka pendidikan negeri akan berarti. kemajuan kehidupan akan merata. Bukankah dengan kesadaran yang dikembalikan pada alamnya itu membuat semuanya jadi manusiawi. Kesadaran manusiawi inilah yang tak merelakan malapetaka datang menimpa.

Andai pokok pikiran ini dibawa pada kenyataan dan kondisi negeri tercinta yang sering disebut sebagai ‘Zamrut di Khatulistiwa’, tentulah begitu banyaknya ilmu dari kandungan  alam ibu pertiwi ini. Jangan bernafas di luar badan. Sesungguhnya tanpa sekolah pun manusia di negeri ini bisa hidup dengan layak di negerinya. Statemen ini bukan menarik busur dan mengarahkan ke sekolah, tapi kepada ke kapitalisan-nya. Cukup! Jangan keruhkan lagi mata air kehidupan kemanusiaan. Silahkan berpatokan lagi pada alam yang terkembang. Itu tak lain adalah tubuh sendiri. Bukankah harga dan nilai wajib diterjemahkan dengan tidakan keilmuan bagi yang memilih provesi itu. Itu pun sekedar ‘pendapat’ dan ini tentu lebih berarti dari ‘pen(g)hilang’..

Memang benar ternyata, guru itu bukanlah sekedar sebutan tapi alamlah yang telah memilihnya. Kalau sudah semacam itu, didikannya akan berbuah butir-butir kehidupan dari hasil dan ukuran sumber nilai. Jangan salah membaca, nanti terperangkap hal yang mikrokosmik, benturan pun akan ganti-berganti. Jadilah alamraya, meski titik bumi dan langit kandungannya. Begitulh sari dan patrinya.

Lain pula sebaliknya: jika dilihat nilai dari pendidikan, hancur atau tidaknya. tentulah pula akan dapat dilihat dari hasil yang dimunculkannya. Petinggi, Penguasa dan Ilmuwan hari ini kan jelas terpotret di negeri ini dan dapat nilai secara terukur di kepal;a. Jangan picingkan mata! Pendidikan itu berakar dari etimologi kata ‘didik’ dan bukan dari kata ‘sekolah’ atau pun kata ‘perguruan tinggi’. Pendidikan apa pun tentulah akan hancur bila asalnya bukan kejujuran dari alam dan lingkungan hidup, apalagi melawannya!

RoKe’S, 17 Mei 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar