Oleh Irman Syah
Dalam perjalanan kehidupan, banyak hal yang selalu diresapi untuk menikmati kenyataan. Rasa dan dentuman di dalam jiwa menjadi warna tindakan keseharian. Beragam persoalan telah mengantarkan bahasa yang tak terduga itu ke dalam sanubari. Kadang melelahkan, kadang riang, kadang membuat diri bertanya-tanya. Negeri apa ini yang telah menghidupi diri?
Tak terelakkan lagi, pertanyaan itu kian membenturkan pikiran pada kenyataan yang sulit untuk dimengerti. Jawaban-jawaban yang disiapkan untuk itu seakan tak mempu mengucapkan apa-apa kecuali protes yang kemudian dicabut lagi karena rasa cinta kepada ibu pertiwi. Rasa kesal, marah dan sakit hati tak tau lagi mau ditujukan kemana. Namun, entah kenapa semua tetap tertahan di kerongkongan.
Apakah kecintaan ini masih bermakna bagi manusia lain? Entahlah. Ketika pertanyaan ini dilanjutkan kembali lagi bayangan-banyangan suram melintas-lintas. Terkadang membuat perasaan jadi kian tak menentu. Kutukan apa ini bagi bangsa. Kehidupan morat-marit yang dialami rakyatnya telah menyebabkan teriakan-teriakan dan protes sepanjang jalan, walau pun itu juga membunuh sekian pendapatan lagi bagi rakyat yang mesti bekerja hari itu.
Tak dapat dibayangkan pula bagi masyarakat yang penghasilannya hari itu adalah untuk makannya besok hari. Tentu mereka tidak akan makan kecuali berhutang ke warung tetangga di depan dan dengan imbalan dimarahi atau dihinakan karena dianggap tidak akan mampu membayar hutang. Atau, bisa juga hutangnya yang kemarin masih belum lunas dibayar. Duh, kasihan amat rakyat di negeri ini. Padahal tanpa rakyat pemerintahan ini takkan pernah berdiri.
Itu baru persoalan ekonomi, belum lagi persoalan kenyamanan hidup dari waktu ke waktu. Pertikaian pendapat kadang memunculkan perkelahian dan malah ‘perang’ antar kelompok pun tercipta. Banyak masyarakat yang tak berani ke luar rumah karena rasa takut, bisa-bisa pula salah sasaran akan merenggut nyawa mereka. Kenyataan ini sering dan terkadang berulang-ulang. Begitu mahalnya kenyamanan.
Untuk hal tersebut di atas apa pula kata mereka yang lain: mobil dan motor begitu banyak di jalanan. Dengan asumsi demikian, muncullah penilaian bahwa kehidupan masyarakat tidak begitu terpuruk. Biasa-biasa saja. Aneh! Sepertinya budaya hutang dengan segala macam kredit yang menjalar telah jadi biasa dan dianggap patokan penilaian. Hutang telah menjadi budaya yang diajarkan pemerintah pada rakyatnya dan ajaran ini cukup meyakinkan dan berhasil alang kepalang.
Berdasarkan hal demikian, wajar saja kalau di negeri ini orang gampang saja marah. Persoalan kecil bisa saja berubah besar secepat kilat. Kenyataan ini merebak dari kota ke desa, malah ke pelosok-pelosok sekali pun. Begitu pula di kalangan manusianya, mulai dari pejabat sampai masyarakat kelas bawah, semua sama, Maklum budaya hutang sudah menjadi sumber satu-satunya yang diikuti dengan taqlik. Diperkirakan tak ada satu rumah pun di negeri ini tak terlibat hutang. Kasian memang. Kalaulah begitu kenyamanan hidup jauh dari jangkauan dan tak dapat pula dihutangkan
RoKe’S, 3 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar