Oleh Irman Syah
Zamrut Khatulistiwa? Sebuah mata rantai kehidupan yang indah dan kaya: keindahan yang tiada tara, kekayaan yang diakui dunia. Inilah negeri kita. Inilah nusantara. Ungkapan ini pulalah yang membuat negeri ini jadi incaran kolonial dari dulu sampai kini. Penjajahan demi penjajahan dalam berbagai bentuk akan selalu dialami selagi ungkapan itu hanya menjadi kata dan tak pernah dimiliki bangsanya.
Kalaulah nilai dari mata rantai yang indah dan mahal itu dikalungkan menjadi sebuah kenyataan persatuan maka negeri ini pastilah akan aman, tentram dan sejahtera. Masyarakatnya akan mampu hidup layak. Kalau nilainya tidak disatukan atau tidak dikalungkan sebagaimana mestinya, yang terjadi tentulah sebaliknya. Masyarakatnya akan susah, tidak aman, morat-marit, sengsara dan cuma bisa layak hidup. Hidup layak tentu jauh beda dengan layak hidup: di dalamnya terkandung perbedaan yang mendasar seperti bumi dan langit, api dan asap, hitam dan putih dan lain sebagainya. Dalam sebuah dialektika tentulah saja akan berupa tesa dan antitesa. Penggabungan dan pertemuan keduanyalah yang penting untuk diujudkan secara nyata. Bagaimana mendapatkan sintesa dari kedua kutub itu. Di mana sesungguhnya pertemuannya?
Ini hanyalah sekedar pengandaian, pengandaian yang perlu ditelusuri lagi secara nyata. Kalau sintesanya tidak ditemukan, artinya bangsa ini dapat dipastikan malas berpikir. Budaya bangsa sudah berubah menjadi pengikut, padahal tokoh-tokoh bangsa negeri ini telah merumuskan sikap hidup dan tatacara serta nilai-nilai yang dimiliki dalam membangun negeri ini. Kemerdekaan jangan hanya dimaknai dengan kata 45, tapi proses menjelang merdeka itulah sesungguhnya yang perlu dikabarkan.
Dengan demikian, sejarah menjadi lurus dan bermakna, kenyataan sikap dan kesantunan bahasa akan muncul ke permukaan bagi pejabat negeri baik dari tingkat tertinggi sampai ke pejabat tingkat bawah. Pejabat itu barangkat dari kata ‘jabat’ dengan awalan ‘pe’ dan akhiran ‘an’: bersalaman, pertemuan dua tangan kanan yang bersentuhan secara tulus, pemberian ‘rasa percaya’, ‘serah terima’ yang ikhlas diberikan rakyat kepadanya.
Bukan berarti pejabat itu cuma bermakna kuasa dengan makna yang salah dan akhirnya berdampak menyusahkan rakyatnya. Tidak! Ini dia. Persoalan bahasa ini sesungguhnya. Dalam kenyataannya, hal ini seakan simpang siur pengertiannya. Persoalan bahasa semacam ini, bila disigi secara symbolik akan ketemu dalam petuah-petuah, ungkapan-ungkapan pujangga, petatah-petitih dalam adat dan kebiasaan budaya masyarakat yang telah matisuri dibunuh modernitas dan kemudian dilajutkan oleh penjajahan komunikasi.
Bagaimana lagi cara memaknai bangsa kalau bahasa telah tercerabut dari akarnya, terbuang dari pekertinya, dan tersisihkan dari budinya. Padahal di sinilah budaya bersemayam dan terkandung serta hati yang selam-menyelam.
Inilah Zamrut Khatulistiwa, negeri yang mulai kehilangan bangsa: lupa benang pengikatnya, mutiara kalungnya tercerai berai. Bahasa itu menunjukkan bangsa, demikianlah ungkapannya: kebangsawanan seseorang akan terlihat dari bahasanya. Di sini, di negeri para bangsa, bahasa telah lupa menjadi benang yang menjalin butir-butir permata yang berupa mutu manikam nusantara. Sementara, bisnis batu permata begitu marak dan membahana.
RoKes, 24 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar