Rabu, 04 April 2012

Musikalisasi Puisi: Warisan Papa Tercinta (1944-2011)


Oleh Litbang Sastra Kalimalang
“Tidak semua penyair bisa membacakan puisinya dengan baik,” kata Ane Matahari . Dari persoalan itulah musikalisasi puisi hadir menjembatani para penyair yang, seperti banyak kita ketahui, hanya pandai merangkai kata-kata. Toh musikalisasi tidak mencoba memperkosa puisi, ia justru memperkuat dan membikinnya tambah gagah. Dengan begitu, audiens akan menemukan kedalaman makna sebuah karya. Bahkan tak sedikit penyair yang teharu ketika puisinya dimusikalisasi.
 Musikalisasi puisi adalah genre baru penyajian puisi dengan iringan musik, biasanya dengan alat akustik. Meski banyak bentuk dalam membacakan puisi seperti deklamasi, dramatisasi atau teatrikalisasi, agaknya karya sastra belum cukup kuat menarik perhatian masyarakat. Musik sebagai seni yang universal akhirnya digandeng, dipadukan dan ditampilkan beriringan dengan puisi. Inilah musikalisasi.

Permasalahan yang kerap terjadi ialah ketidaksesuaian porsi penekanan bunyi dan teks. Musik seolah-olah mendominasi, maka makna puisi kian kabur. Tentu saja, musikalisasi bukan puisi yang dilagukan seperti banyak kalangan mencontohkan Ebiet G. AD  maupun Bimbo. Puisi selamanya akan menjadi puisi, tidak berubah jadi lirik lagu. Dalam musikalisasi tidak ada pengulangan seperti reff pada lagu, tetapi musiklah yang terus melanjutkan kekuatan puisi.

Jika menikmati sajian musiakalisasi puisi yang baik, kita akan dibuat ketagihan. Bisa saja, pertunjukkan musikalisasi tiba-tiba berhenti ketika peristiwa nada berada di puncak. Kita geregetan ingin mendapati anti-klimaks. Itulah yang menurut Ane Matahari, berkawinnya peristiwa kata dan nada dalam musikalisasi. Puisi akan tetap hidup dengan kekuatan makna yang teramat lekat di hati dan pikiran audiens.

Demikian garis besar gagasan tentang musikalisasi puisi dalam diskusi publik ‘Musikalisasi Puisi Hari Ini” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Minggu (29/04/2012). Turut hadir dan berbicara antara lain Ahmadun Yosi dari Universitas Multimedia Nusantara, pemerhati seni Arie Batubara dan seniman musikalisasi puisi Ane Matahari. Acara kemudian dilanjutkan dengan  Parade Musikalisasi dan Pembacaan Puisi di Teater Kecil TIM, sekaligus mengenang Bapak Musikalisasi Puisi, H. Fredie Arsi, atau akrab dipanggil Papa. Parade dimeriahkan oleh peserta kongres dan tamu undangan dari daerah-daerah Indonesia. Tidak terlewatkan pula penampilan Presiden Penyair Sutardji Caulzoum Bachri.

“Mari, kita rawat dan kembangkan bersama-sama hadiah dari Papa!” kata Sutardji.

Musikalisasi kian menusantara
Sejak kelahiran Bulan Bahasa dan Sastra 1982, Badan Bahasa begitu gencar mengenalkan bahasa dan sastra Indonesia pada masyarakat. Mereka turun ke jalan mengabarkan tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ketika kesulitan menyosialisasikan sastra pada masyarakat, musikalisasi merupakan jawaban untuk Badan Bahasa.

Papa H. Fredie Arsi, ialah tokoh sentral dalam perkembangan bahasa Indonesia, khususnya dari segi sosialisasi atau kemasan sastra agar menarik. Mulai di lingkungan sekitar hingga seluruh nusantara, Papa tak lelah mengajak, membentuk dan membina berdirinya sanggar-sanggar musikalisasi. Sanggar Matahari, bentukan Papa sendiri bersama putra-putrinya, adalah laboratorium untuk mengenalkan musikalisasi. Lewat Sanggar Mataharilah sanggar-sanggar musikalisasi yang lain belajar. Boleh dikatakan, Sanggar Matahari merupakan model musikalisasi puisi.

Menurut catatan  Dendy Sugono,  Mantan Kepala Pusat Bahasa, di buku ‘Mengenang Bapak Musikalisasi Puisi’ , persebaran gerakan musikalisasi ke seluruh wilayah negeri ini menumbuhkan pemikiran perlunya wadah organisasi yang menaungi. Mimpi itu pun terealisasi pada tahun 2008, Komunitas Musikalisasi Puisi (Kompi) terbentuk. Papa adalah tokoh pendiri sekaligus menjabat sebagai Ketua Kompi. Di tingkat nasional, Kompi menjadi mitra Pusat Bahasa, di tingkat daerah menjadi mitra Balai Bahasa.

Persebaran musikalisasi puisi tidak terbatas di tingkat nasional, ia telah merambah negeri tetangga. Musikalisasi puisi telah tampil menyemarakkan Sidang Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia dan Majelis Sastra Asia Tenggara dalam persidangan di Indonesia. Bahkan, Sanggar Matari pun pernah menggelar pentas musikalisasi keliling di negeri Jiran. Musikalisasi telah menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia karena memang dilahirkan di bumi pertiwi.

Musikalisasi puisi baru-baru ini dijadikan salah satu kurikulum Bahasa Indonesia. Adanya festival-festival musikalisasi puisi diharapkan mampu menumbuh-kembangkan geliat sastra Indonesia. Tercerabutnnya bahasa Indonesia karena gempuran bahasa asing justru menjadi tantangan untuk tetap merawat jalur yang sudah Papa buka. Ya, kontribusi Papa teramat besar dalam perjalanan kesusastraan kita.

Papa tidak meningal, hanya pulang
Papa tetap hidup di hati masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan pegiat sastra. Pada rangkaian acara Kongres Kompi, Diskusi Publik dan Parade Musikalisasi Puisi di TIM, Minggu lalu, nama Fredie Arsi tak henti-hentinya dibicarakan. Papa mendalami dunia kesenian tidak sebatas soal seni saja, tetapi sudah menjadi ilmu kehidupan. Lewat kesenian, Papa mengajarkan pada kita bahwa budi pekerti dan rasa cinta kasih tak boleh ditinggalkan. Sebab kebaikan itulah hakikat dari seni.

Peserta dari berbagai penjuru Indonesia, mengenal Papa dan kesenian seolah tiada beda. Papa ialah seni itu sendiri, kata mereka. Papa telah dimaknai secara universal dengan garis kelembutannya, seni menjadi hidup di tangan Papa! Semua peserta mengakui bahwa ilmu yang Papa ajarkan begitu bermanfaat. Dengan titik airmata yang mengucur, mereka berjanji akan tetap melanjutkan cita-citanya: mengembalikan seni untuk masyarakat, untuk kebaikan dan untuk memanusiakan manusia.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar