Kamis, 15 Maret 2012

Menulis untuk Keabadian

Respati Wasesa/Litbang Sastra Kalimalang

Penyair Irman Syah pernah bercerita pada saya tentang seorang anak autis. Anak kecil itu belajar menulis puisi padanya. Setiap hari si kecil mendapat tugas membaca dan menulis. Sejak itu, kehidupannya berubah. Ia menjadi periang dan mampu menangkap banyak pelajaran. Puncaknya, si kecil membukukan kumpulan puisinya.

Ada yang menarik dari cerita Bung Irman Syah. Si kecil, kata dia, mampu membahasakan peristiwa keseharian yang ia alami dengan sangat hangat. Ia menuliskan tentang kejadian orang dewasa dengan gaya anak kecil.

Barangkali kita kerap menganggap bahwa terbatasnya pengetahuan dan pengalaman membuat seseorang tidak cakap dalam mengomunikasikan sesuatu. Namun ternyata tidak demikian.

Bahasa memang selalu jujur. Si kecil mungkin tak bisa menuliskan idiom-idiom ala orang dewasa. Tetapi pesan yang ia kemukakan tetap sampai pada pembaca. Karena sempitnya ruang lingkup pergaulan, puisi sederhana itulah yang dijadikannya medium untuk mengeluarkan unek-unek. Jika menilik majalah anak, kita akan melihat langsung bagaimana anak-anak sangat mantap menciptakan karya seni berupa puisi atau lukisan.

Pada edisi bertema Religius, kira-kira dua bulan lalu, Sastra kalimalang mendampingi anak-anak jalanan menulis puisi. Kertas folio dan pena dibagikan. Tadinya mereka mengeluh kesusahan. Setelah didorong terus, mereka akhirnya berani menulis. Dan betapa mengejutkan, mereka mampu menuliskan puisi-puisi yang bukan sekadar indah, tetapi sarat makna. Mereka punya cara sendiri untuk mengenal Tuhan. Itulah beberapa contoh terapi seni yang dijalankan anak-anak kecil.

Pekan lalu, Sastra Kalimalang mencoba datang ke Lembaga Pemasyarakatan Bulak Kapal Kota Bekasi. Sastra Kalimalang mengajak para narapidana menulis puisi. Awalnya, ada rasa berkecil hati bisa menghadirkan puisi di tengah-tengah mereka. Justru, ketika sampai di sana, mereka menyambut dengan antusias. Selama ini mereka jarang mengekspresikan gagasan. Beban hidup yang berat dan sekat yang membelenggu pada akhirnya memang harus diberikan sedikit angin segar.

Berbicara tentang para tahanan mengingatkan saya pada peristiwa ‘65’. Tahanan politik itu ramai-ramai masuk jeruji besi. Bagi para seniman, anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) misalnya, keadaan hidup yang berubah tiba-tiba itu menyebabkan trauma mendalam. Pramoedya Ananta Toer ialah salah seorang tokoh yang mampu mendobrak itu. Ia menunjukkan kepada kita bahwa dalam keadaan susah pun, manusia mesti bisa melakukan sesuatu.

Pramoedya ketika itu menulis karyanya secara sembunyi-sembunyi. Di Pulau Buru, ia menuliskan cerita Arok Dedes dengan buku tulis. Sedangkan Tetralogi Pulau Burunya dengan dilisankan terlebih dahulu pada teman-temannya. Atau tengoklah kisah Ibu Kartini. Ia dituntut melawan sekat tembok kamarnya yang membosankan. Saat dipingit, ia tak lelah untuk membaca dan menulis. Dunia yang tadinya hanya dipandang sempit berubah menjadi lautan cita-cita luhur yang tak terbatas. Bung Karno, Tan Malaka, Hatta dan Sjahrir juga mengalami masa-masa purba di pembuangan. Api semangat mereka tak padam, karya-karya mahadahsyat bermunculan dari tempat-tempat yang tak tersentuh orang.

Betapa beruntungnya kita dapat secara bebas mengeluarkan gagasan dalam bentuk apa pun. Semoga sedikit gambaran di atas mengingatkan kita agar tidak memicingkan mata pada mereka yang tak beruntung dan memotivasi kita untuk terus menulis. Menulis demi keabadian, menulis untuk kemanusiaan.

1 komentar: