Oleh: Irman Syah
KALAU tidak pernah salah, belum tentulah bisa memahami kebenaran. Kebenaran akan menjadi sesuatu yang nyata apabila kesalahan tepat berhadap-hadapan dengannya. Begitu pun sebaliknya, kesalahan pun akan begitu nyata bila kebenaran menyandingnya dengan bersahaja. Salah dan benar adalah hukum, adalah ukuran apresiatif bagi kenyataan manusia yang belum paham. Dengan kata lain, salah dan benar tentulah teramat penting bagi yang belum tahu, belum mengerti atau belum paham sama sekali.
Ketidaktahuan, ketidakengertian dan ketidakpahamanlah yang membuat jarak bagi jiwa yang rapuh itu untuk berlaku tidak tepat dalam hidupnya. Kehidupan mengalir dengan jalan meraba-raba. Tentulah dengan kelambanan pergerakan: jangankan sampai dengan tepat waktu, simpang dan perhentian sebagai tempat bertanya pun telah menghabiskan kalori. Jadinya, sebelum sampai di tujuan tubuh telah begitu lelah. Kalau sudah begitu apa yang mungkin bisa dihadirkan oleh pikiran? Mustahil.
Analogi di atas hanyalah untuk mempertegas bagaimana kebenaran dan kesalahan menjadi sesuatu yang mesti dilewati oleh manusia dalam tahapan hidupnya. Dengan begitu, akan terciptalah semacam sikap yang akan menguatkan diri untuk berlaku dan berbuat atau bertindak dengan sesungguhnya: dengan sesungguh-sungguhnya benar. Apabila hal yang demikian telah terlewati maka perjalanan kehidupan dalam mengahadang kenyataan jadi lempang di dasar dada. Sikap pun menubuh dalam laku keseharian kehidupan.
Tak dapat dibayangkan jika hal yang semacam ini belum bisa terlewati oleh manusia: tentulah dia akan berada dalam kondisi bimbang dan meragu. Kepastian apa pun dalam diri menjadi sesuatu yang tak pasti dalam tindakan. Kebimbangan akan mengantarkan kegamangan dan gamang membuat jantung dan hati jadi ngilu, karenanya diri takut untuk melakukan sesuatu yang di hati. Jadinya terciptalah ketidakpastian hidup, ketidakpastian sikap, dan ketidakpastian tingkah laku dalam menjalani kehidupan yang sesungguhnya.
Inilah jarak itu. Inilah jeruji itu: tiang-tiang besi yang terbangun tanpa sengaja. Dia tercipta begitu saja tanpa terprediksi sebelumnya. Itu baru persoalan berdasarkan ukuran salah dan benar. Belum lagi tepat dan tidak tepat, patut dan mungkin atau lain sebagainya. Meski begitu, hidup telah mengajarkan jalannya sendiri-sendiri bagi manusia. Pelajaran dan pengalaman telah menuntun manusia itu pula untuk bertemu pada sesuatu yang mesti dia jalani: pada sesuatu yang tepat bagi dirinya agar menjadi diri yang sesungguhnya. Diri yang sebenarnya diri itu tentulah akan menjadi kekuatan yang tak bisa lagi dibimbangkan oleh apa pun atau diragukan oleh siapa pun. Sebuah hikmah tentu.
Di balik jeruji jiwa, pemandangan begitu warna-warni. Kanak-kanak berlarian di hamparan mata. Sedih gembira berdekapan di dalam rasa. Bila manusia mampu merangkumnya dengan sabar dan bijaksana tentulah akan menjadi sesuatu yang tidak sia-sia. Menjadi suatu yang begitu berguna. Baik diri sendiri atau pun orang lain yang bakal ditemui dalam sisi-sisi kehidupan mendatangnya. Janganlah merasa patah: semua pasti punya hikmahnya sendiri. Seperti halnya sebagian puisi yang ditulis dari balik jeruji dan dimuat di Sastra Kalimalang hari ini.
RoKeS, 15 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar