Jumat, 03 Februari 2012

Menanyakan Posisi Karya Sastra Kita

Oleh Ari Sumitro
Bung Irman Syah, dalam esainya berjudul “Kembali ke Matasastra” menuliskan bahwa sastra bukan sekadar kata-kata indah. Sastra kadang menjadi ‘kulit’ saja tanpa memerhatikan maknanya sehingga terjadi penyempitan makna. Tetapi, membaca prolog di rubrik ini, justru muncul kontradiksi.
“ketika kata-kata menjadi peristiwa, kata tak hanya sekadar kata, ada makna yang menubuh dalam kata. Kami coba menemukan kata!”
Tentu ada perbedaan mendasar apa yang ditulis Bung Irman dengan prolog di atas. Misalnya, kalimat ‘kami coba temukan kata!’, bukankah ‘kata’ malah mengacu pada ‘kulit’, mengapa bukan ‘makna’? Padahal kata-kata di dalam sebuah karya sastra hanyalah pembungkus belaka. Jika Sastra Kalimalang hanya mencoba menemukan kata, saya pikir apa yang dituliskan Bung Irman menjadi batal.

Di esai ‘Kembali ke Matasastra’ pun beliau menegaskan bahwa karya sastra digali dari masyarakat. Seolah-olah tulisan tersebut menginginkan sastra menjadi tonggak pembangunan daerah, namun kebanyakan menjadikan media massa sebagai acuan. Bila boleh saya menyanggah, sastra barangkali tidak memiliki kevalidan data untuk mengevaluasi kerja pemerintahan. Memang, kadang karya sastra dapat menjadi acuan, tapi ia hanya berupa petuah-petuah.

Dalam hal ini, saya tetap berpedoman, posisi karya sastra ada di antara fakta dan imajinasi. Jika karya itu berupa fakta utuh, ia menjadi berita. Jika karya hanya imajinasi, itu pun bakal jadi fantasi saja: tidak memenuhi ‘rasa dan periksa’ seperti esai kemarin yang berjudul “Menimbang Karya Intelektual lewat Berkesenian”. Barangkali itulah mengapa karya-karya Alexander Dumas (Perancis) dan Pramoedya Ananta Toer (Indonesia), meskipun menceritakan tentang sejarah, tidak dapat dijadikan pedoman.

Dari beberapa tulisannya, Bung Irman juga lebih mengemukakan bahwa karya sastra tulis berangkat dari sastra lisan, misalnya pantun. Bagi saya, karya sastra tulis memiliki aturan-aturannya sendiri dalam menyajikannya. Sastra tulis tidak selalu dari lisan yang mungkin, seperti dilakukan sastrawan Indonesia, melisankannya terlebih dahulu baru kemudian menuliskannya. Akhirnya banyak terjadi pengulangan pokok pikiran dan alurnya pun tidak jelas. Bagaimana budaya tulis akan berkembang, Bung?

Di beberapa pokok pikiran di esai Bung Irman, saya setuju. Misalnya, sekarang ini fungsi karya sastra kini hanya sebagai penghibur, bukan tempat mencari makna. Ada peran kaum pemodal yang mencoba mendekatkan sastra dengan ekonomi. Berbicara kebudayaan Indonesia, kesenian pada dasarnya erat dengan religius. Jika sekarang lebih condong pada ekonomi, berarti ada yang ‘salah’ dalam pembentukan karakter bangsa ini. (Mahasiswa UIN Jakarta, aktif di teater kampus UIN, tinggal di Bekasi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar