Oleh: Irman Syah
Raras Affandi, dalam tanggapannya terhadap Kolom ProKonta yang bertajuk ‘Meradar Sastra dari Akarnya’ (20/1) lalu berusaha menikuk wacana yang telah dikemukakan. Dia juga berusaha membukakan cakrawala tentang gejala kesusastraan yang berkembang hari ini secara universal di negeri ini.
Memang, keberagaman dari kelompok sastra telah memiliki rumah idiologi tersendiri berdasarkan patokan serta ruang lingkup kelompok yang dihidupinya. Semua ini menjadi warna-warni yang perlu diharmonisasikan. Persoalan yang mengemuka dari kenyataan semacam ini adalah kelahiran jarak antara sastrawan yang satu dengan sastrawan lainnya. Meski pun begitu, bukanlah mematikan kelahiran karya yang berkualitas. Dari sisi lain akan memarakkan kreativitas.
Biarkan saja kenyataan itu bergulir. Biarkan saja kehampaan mendiami kehidupan mereka. Biarkan saja mereka berpijak di awang-awang dan menjadikan mereka orang-orang di atas angin: menumbuhkan sikap percaya diri yang kukuh akan mampu untuk menepis itu semua. Biarlah kreativitas dan karya cipta yang melawannya. Dengan begitu kita tak terjerumus pada isu dan menggunjingkan sesuatu yang tidak berarti. Kalaulah sikap dan karya yang bicara alam raya pun akan menerimanya dengan keteduhan.
Keyakinan bahwa kualitas karya adalah sumbu yang mampu menggerakkan resepsi (penerimaan) pembaca terhadap karya sastra tersebut akan sulit untuk dibantah, karena cahaya makna dan kontekstualitasnya mampu menerangi kesemestaan pencitraan. Kalau pun ada jarak -- janganlah penulis pemula -- orang-orang yang baru mencintai dan merabai sastra’ menurut istilah Raras, merasa terganggu dan terhalangi dalam menciptakan karya. Proses akan menghasil sesuatu yang tak terduga. Tinggal memelihara ketulusan.
“Jika ekslusifisme sastra mengemuka maka faham ‘ar for art’ akan terangkat sementara kita membutuhkan sastra yang bertanggung jawab”. Wah pikiran ini membuat saya kembali mengenang ‘Perdebatan Sastra Kontekstual’-nya Ariel Heryanto sekitar tahun 84-an. Tapi tak sejauh itu barangkali apa yang disebut oleh Raras. Meski pun begitu ada korelasi di dalamnya. Menurut hemat saya ketika seni tidak lagi mengangkat ralitas dari prosesnya memang akan jatuh ke wilayah itu. Selagi kesusastraan tetap setia pada ‘matasastra’ kecemasan Raras akan bisa sirna.
Dalam konteks ini, ‘Sastra Kalimalang’ akan berusaha mangangkat segala persoalan dan seluk beluk kehidupan dari beragam disiplin ilmu itu dengan kreativitas kesenian. Membahasakan sesuatu lewat karya dan berusaha setia dalam melibatkan masyarakat yang melingkupinya. Bila politik bengkok, puisilah yang meluruskan! Idiom ini setidaknya merupakan sebuah keyakinan bahwa seni adalah kebutuhan rohani dan mesti diantarkan. Edukasi kreatif yang diciptakan ‘Sastra Kalimalang’ tentulah akan berbuah manis: dengan kata lain, Kalimalang akan menjadi Kalimujur yang bukan hanya bagi Jakarta.**
Bekasi, 26 Januari 2012
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar