Oleh : Raras Affandi ( Penikmat Sastra ) Tinggal di Bekasi
“Tak dapat dibayangkan bagaimana sebuah puisi lahir dari ujung pena seorang Tukang Ojek, Satpam, Pedagang Asongan, Penambalban pinggirjalan, Mahasiswa, Dosen, Pengamen, Security sebuah gedung dan lain sebagainya.”
Itulah nukilan esai “Meradar Sastra dari Akarnya” yang ditulis Irman Syah di rubrik ini Jumat kemarin. Saya ingin menambahkan sedikit gagasannya tentang kebebasan bersastra. Seperti yang kerap kita dengar: sastra hanya milik mereka. Ya, sastra punya jarak dengan kita. Saya sebut ‘kita’, orang-orang yang baru mencintai atau merabai sastra. Lalu ‘mereka’ ialah para sastrawan yang, entah bagaimana mulanya, menyandang identitas itu. Tentu saja ini membuat kita gamang menyetubuhi sastra, bahkan kerap minder.
Jika ekslusifme sastra terjadi, maka faham ‘art for art’ terangkat. Padahal kita membutuhkan sastra yang bertanggung jawab. Artinya, sastra mesti menubuh dalam khalayak: seni untuk hidup. Jika sastra telah didominasi kubu-kubu tertentu, sastra semakin sulit dimiliki masyarakat. Sastra seolah-olah dunia sendiri bagi sastrawan dan tidak berkait dengan orang kebanyakan. Orang akan merasa lebih gampang melepas tanggung jawab kesusastraan. Padahal, kesusastraan merupakan tugas nasional yang harus kita pikul bersama.
Sastra adalah penyemangat hidup, ia menyimpan energi dahsyat. Bahkan, seperti dialami Ibu Kartini, melampaui batas kemampuan manusia sebenarnya. Kita harus percaya bahwa kata-kata dapat menjadi pembangkit. Tidak cukup kita mengatakan sastra hanya digerakkan, tetapi sastra mesti menggerakkan. Konon, karya-karya penulis besar Pramoedya dilarang rezim Orba karena diyakini mampu menggerakkan keberanian membela kemanusiaan.
Secara sosiopsikologis, karya sastra akan dipersepsikan berbeda-beda oleh pembacanya. Komunikasi terjadi antara penulis dan pembaca melalui medium aksara. Keduanya memiliki perbedaan latar budaya, sehingga memungkinkan terjadinya perkawinan kebudayaan.
Karya sastra unik karena di tubuhnya mengalir darah kebebasan. Komunikasi tulis lebih terbuka ketimbang audiovisual yang mencoba sekuat tenaga menyamakan persepsi penonton. Ini bisa kita cermati ketika karya sastra divisualisasikan ke bentuk film. Audiens yang aktif cenderung kritis jika esensi pesan tidak terpenuhi lewat film.
Setiap orang tentu bebas menulis sastra, tanpa memenjarakan nilainya dengan ‘gambaran ideal’ berupa definisi yang bersifat akademis. Sastra bukan sekadar onani intelektual para sastrawan, tetapi sastra mesti dicandui pesannya oleh masyarakat. Manusia pada dasarnya membutuhkan estetika hidup. Bagaimana cara mengungkapkan kegelisahan, kegembiraan, dan kekecewaan, merupakan cermin sederhana atas adab-budaya individu maupun masyarakat. Saya kira, Sastra Kalimalang mencoba membuka ruang ekspresi itu.*
Sastra adalah penyemangat hidup, ia menyimpan energi dahsyat. Bahkan, seperti dialami Ibu Kartini, melampaui batas kemampuan manusia sebenarnya. Kita harus percaya bahwa kata-kata dapat menjadi pembangkit. Tidak cukup kita mengatakan sastra hanya digerakkan, tetapi sastra mesti menggerakkan. Konon, karya-karya penulis besar Pramoedya dilarang rezim Orba karena diyakini mampu menggerakkan keberanian membela kemanusiaan.
Secara sosiopsikologis, karya sastra akan dipersepsikan berbeda-beda oleh pembacanya. Komunikasi terjadi antara penulis dan pembaca melalui medium aksara. Keduanya memiliki perbedaan latar budaya, sehingga memungkinkan terjadinya perkawinan kebudayaan.
Karya sastra unik karena di tubuhnya mengalir darah kebebasan. Komunikasi tulis lebih terbuka ketimbang audiovisual yang mencoba sekuat tenaga menyamakan persepsi penonton. Ini bisa kita cermati ketika karya sastra divisualisasikan ke bentuk film. Audiens yang aktif cenderung kritis jika esensi pesan tidak terpenuhi lewat film.
Setiap orang tentu bebas menulis sastra, tanpa memenjarakan nilainya dengan ‘gambaran ideal’ berupa definisi yang bersifat akademis. Sastra bukan sekadar onani intelektual para sastrawan, tetapi sastra mesti dicandui pesannya oleh masyarakat. Manusia pada dasarnya membutuhkan estetika hidup. Bagaimana cara mengungkapkan kegelisahan, kegembiraan, dan kekecewaan, merupakan cermin sederhana atas adab-budaya individu maupun masyarakat. Saya kira, Sastra Kalimalang mencoba membuka ruang ekspresi itu.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar