Oleh Irman Syah
SETIAP MANUSIA akan (tetap) berusaha untuk memilih mana yang paling baik dan tepat bagi dirinya. Ia akan selalu berbuat semaksimal mungkin untuk mencapai dunia impian rersebut: berbagai cara akan dilakukannya sebagai dengan taktik dan strategi sendiri dalam mendekati ‘sesuatu’ yang menjadi idamannya tersebut. Lain manusia tentu lain pula langkah yang dia ambil untuk mendapakan. Ini juga berdasarkan ukuran kemampuan dan keinginan serta latar belakang historis yang dimilikinya.
Hal semacam inilah yang disebut dengan pencarian. Kenyataan umum ini akan sama di berbagai bidang dan bahkan bisa diisi oleh apasaja berdasarkan kevariabelan yang dimilikinya. Pakar ekonomi akan mengisinya kevariabelan itu dengan ilmu yang spesifik agar dia mampu menelorkan buah pikir tentang perekonomian yang mantap dan tahan uji dalam kenyataan hidup masyarakat. Pakar hukum akan megisinya dengan pandangan serta tatap mata yang pantas, sehingga keadilan yang diinginkan benar-benar berarti dan mampu melindungi rakyat. Ahli agama juga begitu. Demikian pula Politikus, Budayawan, dan pakar-pakar lainnya.
Bagaimana pula dengan Sastrawan? Nah, di sini akan ditemui pula kevariabelan itu dengan sendirinya: Sastrawan adalah pengapressiasi kenyataan yang njelimet, baik tersurat maupun tersirat lewat tatapan dan nilai-nilai, kepekaan rasa serta respon kreatif dari beberapa fenomena yang menggejala di tiap-tiap pranata atau institusi sosial dan kebudayaan yang mengemuka. Jadi, Sastrawan adalah seorang yang mengemban tugas seni untuk mengembalikan kesadaran manusia akan hal-hal yang telah menjadi objek biasa dalam kesadaran manusia sehari-hari menjadi lebih berarti.
Sebagai seorang apresiator Sastrawan kemudian akan mengembalikan lagi hasil apressiasinya berdasarkan alternatif-alternatif serta cermin-cermin ‘rasa’ yang telah dikemasnya sebaik mungkin. Sastrawan telah terlebih dahulu melakukan pengindraan benda-benda sebagaimana benda-benda itu diketahui. Sementara Shkolofsky pernah menekankan bahwa seni adalah satu cara mengalami kelicikan sebuah objek dan dan sementara objek itu sendiri tidaklah penting.
Berdasarkan hal di atas, Sastrawan adalah tokoh yang mampu mengisi kevariabelan itu. Apakah itu mengenai hal-hal yang relegius, social awarenes, atau pun hal-hal lain yang melingkupinya: hukum, ekonomi, politik kepemimpinan, teknologi dan lain sebagainya. Tentu saja bukan sebagaimana diketahui melainkan sebagaimana Sastrawan itu merasakannya. Tangkapan intuisi yang menjelma untaian-untaian kata adalah cermin pasti dari hasil usaha serta kinginan serta kemampuan sastrawan itu sendiri: bagaimana ia mampu menjalin dan menyulam kenyataan itu lewat kata dan melahirkan karya yang monumental?
Itulah perjalanan..
Itulah pencarian!
Perjalanan seorang Sastrawan tentulah perjalanan manusia intelektual yang menghidupi diri dengan masakan ‘api pikir’ lewat rebusan-rebusan kata sehingga mampu menerjemahkan rasa dari sebuah titik pandang yang bijaksana. Atar Semi, pernah mengatakan bahwa imajinasi dalam karya pada hakikatnya tidak kelihatan karena ia terpendam dalam kesadaran pembaca. Sastra akan mengada sebagai ungkapan hati, berangkat dari bahasa batin sastrawannya: persoalan hidup mengelana di dalamnya.
Kekuatan karya adalah kemampuan lebih dari seorang Sastrawan sehingga kepadatan itu membuahkan satu tafsiran kuat dan estetik. Sementara, kekuatan estetik sebuah karya sastra yang telah dihasilkan pengarang tidak terlepas dari apa dan bagaimana cara dia melakukan pencarian dalam menemukan nilai-nilai kehidupan.
Bekasi, 19 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar