Senin, 30 Januari 2012

Meradar Sastra dari Akarnya


Oleh: Irman Syah
KESUSASTRAAN kadang terlihat menurun, mendaki, lurus dan berbelok, atau melereng  dalam perjalanan sejarahnya. Ini sesuai dengan laku-ungkap keseharian serta gaya hidup manusia dan budipekerti yang menghidupinya. Nilai kemanusiaan secara utuh itulah sesungguhnya yang bakal terpapar, tersebab karya sastra itu juga kabar yang terlahir dari manusia.

Berangkat dari sini, ternyata banyak persoalan dan sekaligus jawaban (kadang bertentangan) hadir perihal sastra dan mengemuka: bermunculan untuk disikapi, kemudian diungkapkan lewat bahasa. Mulai dari gaya, isi, filosofis, lokalitas dan sebagainya. Kesemuanya itu tentulah membutuhkan perangkat tepat yang mesti dipasangkan dalam  mengukur dan mengira, menikmati serta menilainya.

Itu baru kesusastraan dalam bentuk tulisan dan buku, belum lagi komunikasi teks panggungnya. Keberagaman pertunjukan sastra itu pun kian jadi marak dengan stylistikanya yang beragam pula. Wah. Begitu kayanya Indonesia dengan keragaman. Perkembangan semacan inilah yang dengan sengaja direspon ‘Sastra Kalimalang’ secara kreatif. Mendokumentasikan karya-karya yang  berasal dari beragam tempat dan kejadian serta memanggungkan karya tersebut di ruang publik dalam menyiagakan ruang kultural.

Sastra Kalimalang sengaja melebarkan jangkauan fungsi sastra yang tidak hanya untuk pembaca saja tapi juga bagi penulisnya. Tak dapat dibayangkan bagaimana sebuah puisi lahir dari ujung pena seorang Tukang Ojek, Satpam, Pedagang Asongan, Penambalban pinggirjalan, Mahasiswa, Dosen, Pengamen, Security sebuah gedung  dan lain sebagainya.  Karya-karya  puisi itu pun dimuat dengan jalan mengkurasinya, terkadang berdasarkan tema dan tentulah pula dengan cara  tersendiri -- alias ala ‘Sastra Kalimalang’. Setiap Jum’at Perca-perca Puitik itu pun terbit di Radar Bekasi untuk mengunjungi pembacanya.

Tanpa disengaja, Sastra Kalimanag telah mumbangun wilayah ekspressi dan sekaligus apresiasi bagi penulis puisi yang beragam lewat perbedaan provesi kerjanya ini. Karya yang ditulis ‘penyair’ tersebut tentulah berarti, setidaknya bisa berfungsi terapi atas persoalan personal kehidupan yang melingkupi keseharian penulisnya. Kegairahan menulis ini tentulah positif: bahkan ada pula yang ingin mengirimkan puisi lisannya tersebab dia tidak bisa menulis. Tidak terbayangkan pula bila Tukang Ojek yang menuliskan puisinya itu mesti pergi  membawa langganan, sementara puisi belum selesai. Puitis memang!

Penerbitan kesusastraan tampak begitu sporadis. Sulit dilacak.  Sepertinya, bahasa kesulitan untuk mengungkapkan kenyataan ini dengan fasih: meskipun itu berangkat melalu metode, pisau analisa, serta perangkat teori dengan pendekatannya. Meskipun hanya selintas pintas, tulisan ini akarnya hanyalah untuk mengungkapkan  peristiwa budaya yang tengah mengakar dan berlangsung di ‘Sastra Kalimalang’ dengan ragam warna dan urbannya.
Bekasi, 13 Januari 2011 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar