Rabu, 18 Januari 2012

Melukis Senja

Matahari bersahabat, ia tak murung ataupun marah. Cahayanya datar saja. Membuat kami, di tepian Kalimalang, serasa berada di bantaran sungai Seine Paris. Ini mungkin tak pernah terbayang sebelumnya jika di kota yang padat ini, ternyata ada tempat menyenangkan untuk menyambut senja.

Sebelumnya, ketika panas menyengat, kami habiskan waktu di saung sastra: perpustakaan pinggir kali. Beberapa orang duduk melingkar sembari menikmati kopi hitam ditemani kepulan asap rokok. Ada yang ngobrol sambil bermain musik, ada pula yang sambil membaca buku. Kami mencoba menciptakan suasana merdeka.

Tetapi, setidaknya, ada obrolan penting (meskipun santai) yang kami gagas bersama. Seorang teman dari Bogor, Eiy, agaknya geregetan duduk di saung ini. Ia berkomentar, saung mesti dirapikan lagi. Harus ada semacam rak buku di bagian atas agar aset pustaka tak rusak. Dari situ, sanggahan bermunculan, ide dikristalkan.

“Mungin,” kata Eiy sambil menghisp rokok, “rak buku itu bisa dibuat di bagian atas, sehingga hemat tempat.”

Ekkie, lelaki kurus berwajah membosankan, tak mau kalah. Ia mengajukan selembar kertas yang berisi catatan kebutuhan saung. Barangkali ia ingin merangkum dari pembicaraan kecil itu. Ia menuliskan, di antaranya, bentuk tata ruang saung. Di dalam saung itu ada akar pohon, ia menyarankan agar itu bisa dibikin arstistik.

“Akar merupakan simbol persahabatan dengan alam,” ucap Ekkie sambil tersenyum.

***
Dua orang pemuda duduk di tubir sungai. Di sela kakinya terselip perkusi (jimbe). Mereka saling pukul jimbe, bertalu-talu, menggema hingga ke jalan-jalan. Wajah kedua orang itu di hadapkan ke air yang mengalir manja. Eiy dan Uji, begitulah nama mereka, seolah-olah tengah tampil di hadapan ribuan penonton. Memang, akhirnya satu per satu orang mulai bergabung.

“Hey,” kata Uji bersemangat,” mari berdansa..ha..ha..”

Tak jauh, ada seorang pemuda berkulit gelap, Denias, memainkan bioala tanpa hirau pada sekelilingnya. Ia nampak begitu menikmati. Di sampingnya, Deddy, mengiringi dengan gitar. Agaknya mereka sengaja berlatih. Keduanya melemparkan pandang ke Kalimalang.

“Denias,” kata Deddy tenang, “malam nanti kita rekaman lagu ini.”

Di rumput dan pandang mata yang sama, beberapa orang membentuk sebuah lingkaran kecil. Seorang berambut panjang, Anne Matahari, berceloteh. Diskusi di saung sastra siang tadi berlanjut di sini. Acoes, ‘tangan kanan’ Anne,  serius mencerna kata-katanya. Sedangkan Ekkie, lebih gemar mendengarkan sembari coret-coret kertas. Dan Icha, gadis manis berjilbab, mendengarkan dengan wajah yang kadang-kadang serupa mimik bocah kecil.

“Aku pikir, kita perlu menguatkan tim kerja agar tak terpontang-panting,” ungkap Anne.

Langit mulai muram. Desing mesin kendaraan di jalanan semakin riuh. Namun, di aliran Kalimalang, sore ini ada yang berbeda. Seorang demi seorang mengapung dengan pelampung dari arah aliran air. Mereka berhenti sebelum jembatan, kemudian naik ke daratan tepat di tempat orang-orang tadi bermain musik. Ya, ternyata mereka anak sekolah yang gandrung pada sungai. Mereka mengisi senja dengan kegiatan basah-basahan.

***
Suara Azan menggema. Maghrib tiba. Burung walet berterbangan, meliuk-liuk di atas air kali. Lampu-lampu menyala, juga di saung sastra. Semua orang berpusat di belakang saung, pinggir kali, tak lama lagi pergi. Tanpa kami sadari, hari ini Kota Bekasi ramah sekali.

Kami merasakan suasana ini seperti melihat larik hujan yang tak bersentuhan, lalu jatuh dalam satu curah: tanah. Mereka tumpah ruah di pinggiran Kalimalang. Mugkin kami tak saling kenal, tapi jiwa kami bertautan.

1 komentar:

  1. keren..
    sebuah catatan harian yang menyenangkan untuk dibaca:
    iya, kami tak saling kenal tapi jiwa bertautan.

    semangat!
    selalu tersenyum, tapi..

    BalasHapus