Kota Bekasi ramai di malam Minggu. Kendaraan merayap memenuhi Jalan Chairil Anwar, dari jauh lebih mirip kunang-kunang berkejaran. Mungkin, jika sungai di sisi kirinya dapat bicara, ia akan membacakan puisi kehidupan: Chairil Anwar mati diinjak ban-ban mobil. Namun ada segelintir orang membelanya. Mereka berbincang santai perihal sastra di sebuah saung sederhana bernama “Perpustakaan Pinggir Kali”, di samping Kampus Unisma.
Perpustakaan ini dibangun Komunitas Sastra Kalimalang, setelah berhasil menggelar pentas pinggir kali dan panggung terapung (27/12/2011). Malam itu diskusi pertama yang mungkin, setiap malam Minggu, berlanjut. Seorang tukang tambalban dan pedagang sekitar misalnya, dapat berdialog langsung dengan akademisi. Mereka duduk sama rendah berdiri sama tinggi.
Perpustakaan ini dibangun Komunitas Sastra Kalimalang, setelah berhasil menggelar pentas pinggir kali dan panggung terapung (27/12/2011). Malam itu diskusi pertama yang mungkin, setiap malam Minggu, berlanjut. Seorang tukang tambalban dan pedagang sekitar misalnya, dapat berdialog langsung dengan akademisi. Mereka duduk sama rendah berdiri sama tinggi.
“Lumayan, selain warung tambah ramai, saya jadi sedikit tahu tentang sastra,” kata seorang pedagang dengan nada polos.
Menurut Anne Matahari, pencetus Komunitas Sastra Kalimalang , ide-ide seni dapat terajut dari berbagai kalangan. Selama ini karya seni seperti sastra, hanya dinikmati atau dihasilkan seniman saja. Padahal hakikatnya, seni adalah endapan kejadian hidup manusia yang mewujud bahasa verbal atau non-verbal.
“Siapa menyangka jika dari sini lahir sastrawan besar dan ternyata kesehariannya menarik ojek. Seperti masyarakat terkejut ketika mendengar latar-belakang Chairil Anwar, seorang ‘jalang’ yang hidup di jalanan,” ucap Anne, sembari mengelus pipa rokoknya.
Harus Mandiri
Seorang dosen ‘kampus sebelah’ berjalan menuju saung. Ia mengenakan pakaian rapi layaknya para akademisi. Namun, hari ini ada yang sedikit berbeda, di kepalannya tertelungkup peci hitam. Namanya Harun Alrasyid. Orang di saung, termasuk sebagian mahasiswanya, menyambut dengan senyum beruntai-untai.
“jujur, saya sebenarnya tidak tahu sastra,” katanya. Sontak semua meledeknya. Sebab, sehari-hari ia hanya bergelut dengan mata kuliah politik.
Di saung itu mereka memberi kesempatan Harun berbicara. Awalnya Harun ragu, mahasiswanya mungkin lebih tahu tentang seni. Namun setelah mendengar ide-ide mereka, termasuk ide seorang tukang tambalban tentang manfaat sastra dan perpustakaan, ia pun angkat bicara. Ia mengarahkan perbincangan ini ke arah eksistensi komunitas.
“Solidaritas mesti dibangun sejak dini. Selain itu, kemandirian ekonomi pun perlu dipikirkan. Dari riwayat organisasi-organisasi, keuangan seringkali menjadi pemicu perpecahan. Saya harap Sastra Kalimalang mampu menciptakan ruang kreatif dan menghasilkan karya,” ucap Harun.
Ia mencontohkan bagaimana anak muda di Jogja dan Bali berhasil membuat karya dari ruang-ruang kreatif. Misalnya kaos dan penerbitan buku. Dengan cara itu, mereka sebenarnya telah berani melawan kapitalis. Ruang kreatif membalikkan cara berpikir klasik tentang usaha. Bagi mereka, sumber daya manusia lebih penting ketimbang modal.
Pendapat Harun dibantah seorang mahasiswa. Katanya, jika kesenian berorientasi pada ekonomi, itu sama saja menghilangkan ruh kesenian. Seni akhirnya menjadi semacam komoditas yang mesti mengikuti kebutuhan pasar. Padahal seni merupakan sesuatu yang adiluhung (suci).
“Saya rasa ini bukan bentuk ‘pelacuran seni’. Saya tidak mengatakan bahwa vitalitas seni diubah, tetapi menyiasati agar seni juga mempunyai nilai tawar. Jika orang tertarik dengan karya kita, itu berarti karya tersebut mempunyai nilai seni,”jawab Harun enteng sambil membenahi letak kacamatanya, kemudian mereguk kopi hitam.
“Jika kesenian selalu mengandalkan bantuan dari orang lain, tidak akan maju!” lanjutnya tegas.
Menghadirkan Ruang Kultural
Perbincangan mulai memanas. Namun, dari sudut pandang yang berbeda itu, justru semakin membuka cakrawala berpikir mereka. Ide demi ide saling menopang. Kadang-kadang, ada semacam sinisme terlihat dari sungging senyum di bibir yang tawar. Penyair Irman Syah, lekali paruh baya berambut panjang, mencoba melengkapi ide-ide tersebut.
Menurut Irman, kesenian merupakan tanggung jawab bersama. Seni bukan saja berarti bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain. Ada pesan yang ingin disampaikan seniman pada khalayak. Komunikasi itu berhasil ketika pemahaman pesan tersebut di antara keduanya sama. Namun, hingga kini belum ada ruang apresiasi seni yang dapat dinikmati semua kalangan. Panggung-panggung seni hanya berlaku bagi kalangan atas, sebab, seni telah menjadi 'event'.
Bagi masyarakat kita, kata Irman, asupan rohani amatlah penting: tetapi tidak pula melulu soal agama. Ini bisa diwujudkan dengan pendekatan estetik seni. Tidaklah kita boleh menafikkan bahwa seni inkorelasi dengan religi—rohani. Di Bali, kita melihat bagaimana mereka mampu menjadikan seni sebagai bagian pencapaian nilai spiritual. Seni adalah hasil pengendapan kehidupan yang telah dibauri unsur budi pekerti.
“Bila berkunjung ke Yogyakarta, kita menemui keunikan luar biasa. Sultan Hamengkubuwono mampu menyulap ruang publik menjadi ruang kultural. Artinya, pusat keramaian bukan saja sebagai tempat belanja atau jalan-jalan, tetapi juga menjadi tempat pengunjukkan hasil seni. Sepanjang jalan Malioboro hingga Keraton misalnya, kita dapat merasakan suasana estetik tersebut,” papar Irman.
Kerinduan terhadap ruang kultural di Bekasi sebenarnya sudah terlihat. Desember kemarin, Komunitas Sastra Kalimalang mengadakan pentas pinggir kali dan panggung terapung: kampanye kali bersih lewat seni. Acara ini menyihir penonton, mereka sangat antusias mengikuti rentetan pentas hingga selesai.
***
Malam merangkak naik hingga jarum jam 12 terlewati: hari sudah pagi. Satu per satu mereka pergi. Jalanan sepi. Setidaknya, jalan Chairil Anwar berhenti dilindas ban-ban mobil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar