Senin, 12 Maret 2012

Kampungku, Riwayatmu Kini..


Situn Kong Guntur

klana pangsi baju piyama
gambar di dada, ditulis kereng
Kota Bekasi milik kita bersama
ayo ‘ah kita jaga bareng-bareng

patok besi berpager kawat
kawat diambil di Ujung Malang
ini Bekasi kalu kaga dirawat
kaga mustahil, besok semua ilang
kue talam, bahanah beras
kue nyeng basi dibuang-buang
kukirim salam ama orang-orang nyeng waras
budayawan Bekasi, ayo bangkit berjuang


Penasaran
Oleh: Yudi Prayitno

kepada siapa ‘ku bertanya tentang apa
kepada apa ‘ku tertegun
campuran antara sedih gelisah senang
siapa kamu!
siapa aku!
siapa dia?
dunia penuh tipudaya belaka

nyanyian syahdu kuteriakkan
tidak tau apa yang kuteriakkan
apa!
eehhhh!
siapa?
bagaimana!
kapan?
kenapa?
dunia penuh remang - remang kehidupan.

Potret Desaku

gurat-gurat sang fajar memerah
membias di bibir cakrawala
tatapan sang mentari membelah sisi bumi
di atas hamparan permadani hijau
terasa damai kala kusinggahi
gubuk-gubuk kecil yang berdiri kokoh
di antara sudut-sudut pematang sawah
di bawah kaki gunung Galunggung
yang menjulang tinggi menggapai angkasa

suara gemericik air sungai
merdu terdengar berpadu dengan
bisikan padi yang terlihat mulai berisi
rumput ilalang pun tidak mau kalah
menunjukan kebolehannya
dengan gemulai tarian-tarian liarnya
sementara sang kumbang asyik berimajinasi
dengan bunga-bungaan yang dihinggapinya

aku kian larut dalam kecipak air kolam
yang terasa sejuk menyapa kulit
terlihat beratus-ratus ekor ikan
hilir-mudik tak kenal lelah
mereka berebut makanan yang kutebar
ke dalam air kolam
sungguh pemandangan yang membuat
aku selalu ingin berlama-lama berada di sana

Bekasi, 03 Maret 2012
(karya: Dian Rusdiana)

Kembali Temukan Diri

sungguh aku canggung
tinggal di kotamu karena waktu selalu berlari
tergesa terburu
sering ku tak sempat mendapat ruang,
sekadar bercakap tentang aku

kotamu tlah teramat maju
teramat pintar
segala diukur dengan angka
hingga langkah-langkah kecilku
tak pernah mampu ikuti
lincah pesat laju
seperti yang kaubanggakan padaku
di malam itu

aku ingin segera pulang
ke dusunku dulu

di sana, sang waktu sangat akrab
adalah sahabat
sering bercakap bersahaja
terkadang
gemulai menari,
berputar-putar
memberikan aku ruang
berdiam berlama-lama bercakap
dengan aku, tentang aku

di sana semua tetumbuhan hewan dan manusia
dan segala penghuninya tak pernah tua
senantiasa ranum bercahya remaja

ah, damainya bersenandung kidung
dalam udara cinta
apa adanya

(Budhi Setyawan, Bekasi Selatan)

Rindu Pulang

sudah tak terhitung
kepulanganku
ke tempat yang pernah kusebut
“rumah”

dan pikirku pun mengembara
ke tahun-tahun silam…

dari Stasiun Tugu ke Solo Balapan
dari terminal kota ke terminal kecil
hingga turun di depan sebuah rumah
di samping kantor kecamatan

‘ku teringat
pohon tanjung yang menjulang,
pohon sawo dengan cabang-cabangnya yang rendah,
pohon mangga yang setia berbuah,
dan rumpun bambu di belakang rumah.
terbayang budeku yang kewalahan
menyapu daun-daun kering
di halaman yang luas

aku rindu semua tentang rumah itu
rindu menapaki jalan berbatu
hingga sampai ke depan pintu
rindu berkumpul bersama keluarga
dan tetangga di ruang tamu

rindu berdiang di dapur setiap pagi
dan menghirup aroma masakan budeku

pakdeku sayang…
aku rindu pulang!
tapi kini,
siapa yang ‘kan menyambutku datang?

Bekasi, 7 Maret 2012
Oleh: Nila Hapsari


Replika Hujan
oleh : MD Andi Ardana

jalanan basah, telah lama dimandikan oleh cakrawala
sebab ia menangis. sebab lukisan laut dalam matanya menghilang berganti mendung yang tak- berkesudahan, sekadar perkenalan awal aku hadiahkan replika yang tak selesai ini
sebagai yang dikenang saat hujan tiba atau bisa menjadi obat tidur kala mimpi buruk menyerang tidurmu dan bersembunyi di balik dadamu.
rumah-rumah dalam hatimu redup setelah sekian lama terbakar
semua membekas dalam noktah hitam melukiskan peristiwa demokrasi
yang tak usai diperdebatkan di atas meja bundar
serta kongres pemuda dan yang tua selalu membuahkan pertengkaran
dan selalu menjadi lukisan kelabu yang menakutkan

jalanan masih tetap basah, tidak ada jalan lain untuk pulang
ke muasal rindu yang dinantikan antara sejuk pepohonan dan mewangi bebungaan
yang ada hanya kebun jeruk yang busuk dalamnya dan sebuah pilihan yang tidak menjanjikan
tapi merugikan, karena airmatanya terkuras habis masih saja diberi pedih hingga merintih
tidak ada kantor pos yang bisa mengantarkan secarik surat keluhan
atau permintaan bantuan, yang ada tentara tanpa tanda pengenal dan tiada mengenal
yang selalu mengambil surat-surat itu kemudian merobeknya sembari mengumpat
“Hujan dalam tubuh kalian tidak akan reda bahkan hingga musim panas tiba”

hei,
jalanan akan kering, jika rantai di leher kalian lepas
dan berteriaklah iringi lagu rindu di sepanjang jalan basah itu sampai mendekati pohon randu
sebelum hujan tumpah di dadamu dan melahirkan banjir yang takkan habis di tawu
hei, ingatlah lepaskan dan nyanyikan
maka jalanan basah itu akan kering dengan sendirinya

….. 2010 …..

Rumah Tua
Karya: Fitrah Anugerah
(Tinggal di Bekasi Selatan)

siapa penghuni rumah tua?
bukankah aku telah berdiam lama dan menunggumu keluar dari lubang silammu.
hingga pantas sunyi dipasung di kaki-tanganku.


siapa pemilik rumah tua?
bila kau memotong kelambu kesunyian lalu biarkan ‘ku tersudut cahaya di celah gelap jendela.
aku terpojok di sudut dinding. memandang dinding yang ternyata kusam.
lalu kulukis wajahmu hingga terkelupas lapisan cat. tapi namamu tergores di batu bata tua.
tetap saja kau menjadi repihan di senyap lantai

tak terterka berapa umur rumah tua. sedang kau menari, lompati waktu.
lalu sulur angin menusuk mata. dan aku jauh. Teramat jauh melihat tiadamu.

03 Mei 2009

Eng - Ing - Eng
Oleh : Kie

ingin pulang,
perkampungan sudah banyak hilang.
Permakluman dari pembangunan
yang kini diatasnamakan.
di ambang niat,
terbawa waktu melesat ke kota harapan.

gelap menindih malam
tak ada jendela untuk sinarnya
tidur dengan mata terbuka
tak berbeda mimpi dan nyata

kata-kata mantra sudah tak sakti lagi,
melalui puja-puji untuk Dewi Sri.
mendatangkan Subur yang telah kabur
kampungku tandus
ditumbuhi beton bangunan kota
penghalang rindu
untuk bertemu memeluk ibu.

Kelam dan Muram
Oleh: Siti Nur Ftiriani, tinggal di Bekasi

mimpiku seolah-olah nyata
ketika Papa mendahuluiku
sejak aku masih kanak dan belia

dunia nampak kelam dan muram
di cakrawala terserak ribuan puing-puing
yang siap dijatuhkan ke bumi dalam mimpiku

aku tak sempat bertanya pada Papa
tentang mimpi yang seolah menjadi isyarat
yang bukan hanya untukku, lantaran takut dan tak percaya

kini aku seperti tak berdaya
melihat kotaku yang tergantikan
oleh gedung-gedung yang menjulang
seolah siap menikam dan menerkam
seperti yang terlintas dalam mimpiku….
Bekasi 05 Maret 2012

Peradaban
Radipta Ad Azhar Azhar (Ramli Sauri)

Ncang,
kota ama desa aye
Tergusur peradaban

yang dianggon ora danta
sawah kebon bejubel cerobong item
galengan sebatas mimpi indah.

bagimana kalo pribumi kependem
rasa gundah gulana meradang merana

ora resep pisan dah
punya budaya warisan leluhur
ampe ngga ‘ngeh dibersiin apalagi dirawatin

resep kalo masyarakat dan warganye akur
gotong royong berbondong-bondong .
jejingkrakan musim dedangdutan
bocah sunatan petasan ampe sesurakan.
nyanter rame ora pada ngaku saudaraan.


Rindu Suasana Itu
Oleh : Didi Muliyawan
Mahasiswa Fak. Pertanian Unisma Bekasi

gersang...
asap kendaraan menyumbat paru – paru
deru suara mesin mengalihkan pendengaranku
mata terbelalak sisa mereka yang asik dengan keasikannya.
ruang AC impian tetanggaku.

tak ada lagi kepulan asap dari dapur rumah.
tak ada lagi kayuhan sepeda mereka yang hendak ke ladang.
hijau tempatku disulap pencakar langit.
tak ada lagi riuh anak – anak di kali
juga di surau tempat mereka belajar dan mengaji

Oooohhh…..
ke mana tempatku yang dulu menjadi persinggahan para musafir ?
tempat yang hijau nan asri !
‘ku merindu jalan lempung yang lengket di kaki kala hujan
dan semua aroma kampung dengan kekolotan manusia…..

Bekasi 08 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar