Oleh : Ane Matahari
Cabe butun kandut diangkin Plok buyung pasar swalayan
Dibawa kabur siburung dara Kebon paya bepager kawat
Sengaja pantun ini abang bikin Ibarat gayung maranin tempayan
Bakal ngehibur ati sodara Sewajarnya ni budaya mesti dirawat
Membaca syair-syair yang dituliskan kong Guntur el-mogas mengajak alam fikir dan rasa kita ke dalam ruang budaya Bekasi yang spesifik dan memiliki karakteristik bahasa lokal Bekasi yg tidak terlihat sama dengan bahasa Betawi:
terkadang identik dengan kebekasian. Hal ini disebabkan karena Bekasi termasuk penyangga ibukota atau daerah yang berdekatan dengan Jakarta serta memiliki etnis Betawi, walaupun secara administratif Bekasi menjadi bagian dari propinsi Jawa Barat.
‘Situn’, singkatan dari puisi pantun dan merupakan khasanah kesusatraan baru yang saat ini selalu digaungkan di kabupaten/kota Bekasi sehingga masyarakat Bekasi yang sudah didominasi oleh masyarakat urban akhirnya akan mengenali kembali bahasa lokal Bekasi yang memiliki keunikkan tersendiri. Dalam Kamus Sastra Indonesia, pantun merupakan jenis puisi lama yang terdiri atas empat larik dengan rima AB-AB, tiap larik berisi empat kata, dua larik pertama merupakan sampiran, sedang larik ketiga dan keempat merupakan isi, sedangkan Puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh rima, rima dan tata puitika yang lain, gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran tentang pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama dan makna khusus.
Kong guntur menggabungkan dua unsur tersebut dengan karakteristik ke-Bekasi-an yang unik dan menarik. Seperti halnya syair di atas “cabe butun kandut diangkin, dibawa kabur si burung dara”, imajinasi pemantun bermain di antara bahasa lokal Bekasi yang khas, dan terlihat kepiawaian Kong Guntur di larik ketiga dan keempat yang merupakan isi yaitu “sengaja pantun ini abang bikin, bakal ngehibur ati sodara” sangat terasa kekuatan bahasa lokal yang sederhana di tangan Kong Guntur Elmogas.
Kesederhanaan kata dalam bahasa lokal Bekasi dapat kita nikmati juga di pergelaran pentas Topeng Bekasi, terutama saat adegan Lipet Gandes, para tokoh atau aktor sandiwara topeng tersebut saling berbalas pantun dalam bahasa lokal Bekasi yang khas dan sangat menghibur bahkan terjadi respon spontanitas terhadap audiens yang hadir, semisal di antara penonton dihadiri oleh salah satu tokoh masyarakat setempat, hal ini menjadikan pentas topeng sangat komunikatif.
Tidak semua kelompok topeng mampu menyuguhkan sajiannya menjadi komunikatif, biasanya tergantung kepiawaian aktor yang memerankannya, sehingga terkadang nama sebuah kelompok topeng diambil dari nama aktor yang mampu memainkan perannya dengan baik serta memiliki ciri khas dan karakteristik tersendiri seperti Topeng kacrit, Topeng Nomir dan lain lain.
Selain kong Guntur el-mogas, mulai bermunculan penyair penyair bekasi yang menggunakan bahasaI lokal menjadi ‘bahasa ucap’-nya, seperti Ridwan Fauzie atau R Fauzi anak Bekasi, salah satu karyanya :
MASING ADA LAMPU MERAH NYENG NYALA
Selagi lampu nyeng merah ntuh nyalah
Tenggorokan nyeng kering keausan ilang
Perihnya perut nyeng laper ngga kepanjangan
Kalu lampu merah ntuh nyalah
Bocah belarian jejingkrakan
Maenin kecrek dari kerop di tangan
Ngiringin nyanyian seketemunyah
Di samping kaca item mobil mobil mewah
Gegaruk tangannyah
Di kepala nyeng kaga gatel
Ngelietin kaca mobil kaga ada nyeng dibuka
Marah, putus asa, kaga ada di kamusnyah
Dia terusin di mobil blakangnyah
Cring… gopean jatoh ngegelinding di aspal
Kerna lampu ijo udah nyalah
Bocah pada ngibrit kepinggiran
Nungguin jalanan sepian
Nyariin gopean tadi yang jatoh tau ke mana
Tenang ajah kawan
Lampu merah ntuh pasti masing nyalah
Kita kaga bakal mati kelaparan dah
Nyeng penting semangat kaga boleh kalah..
Syair syair Er Fauzie menggunakan bahasa lokal bekasi dalam konteks keseharian, dan peristiwa yang dibangun adalah kesaksian penyair melihat situasi kota Bekasi yang marak dengan kesenjangan sosial. Hal ini yang membedakan Er Fauzie dengan Kong Guntur el-Mogas dalam bentuk pengungkapan kata. Kesan puisi yang berbahasa lokal terlihat dalam syair syair Er Fauzie, sementara Kong Guntur lebih mengedepankan pantun yang berbahasa lokal Bekasi.
Kedua penyair Bekasi ini berprofesi sebagai guru, mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan bangsa khususnya masyarakat Bekasi. Kepenyairan menjadi salah satu cara untuk mengungkapkan kecintaan dan kebanggaannya menjadi orang Bekasi yang punya identitas lokal dan “bahasa ucap” yang perlu dilestarikan, sehingga siapa pun yang datang ke Bekasi bisa mengenali dan memahami Bahasa Ibu masyarakat Bekasi.
Demikianlah sedikit uraian tentang ‘bahasa lokal’ dalam kesusastraan kita, khususnya Bekasi yang memiliki kekuatan kata dalam kesederhanaan berbahasa. Untuk menutup tulisan ini marilah kita simaki lagi khasanah ini lewat goresan Kang Guntur El-Mogas:
KAEN KATUN NGEBUNGKUS LEUNCA
CABANGBUNGIN, TELUK AMBULUH
KALU PANTUN UDAH DIBACA
BILANG BILANGIN ANAK MA CUCULUH
PU’UN KELOR SITEMU IRENG
KUE DONGKAL MAKAN BERLIMA
NYO NGALOR NGIDUL GO BARENG
BUDAYA LOKAL JAGA BERSAMA
25 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar